Kamis, 01 Juni 2023

REFLEKSI PEMBELAJARAN ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 3.3 PENGELOLAAN PROGRAM YANG BERDAMPAK POSITIF PADA MURID

  

Kepemimpinan Murid (Student Agency)

Murid dikatakan telah mendemonstrasikan “student agency”  ketika mereka mampu mengarahkan pembelajaran mereka sendiri, membuat pilihan-pilihan, menyuarakan opini, mengajukan pertanyaan dan mengungkapkan rasa ingin tahu, berpartisipasi dan berkontribusi pada komunitas belajar, mengkomunikasikan pemahaman mereka kepada orang lain, dan melakukan tindakan nyata sebagai hasil proses belajarnya.

Kepemimpinan murid adalah tentang murid yang bertindak secara aktif, dan membuat keputusan serta pilihan yang bertanggung jawab, daripada hanya sekedar menerima apa yang ditentukan oleh orang lain. Ketika murid menunjukkan agency dalam pembelajaran mereka sendiri, yaitu ketika mereka berperan aktif dalam memutuskan apa dan bagaimana mereka akan belajar, maka mereka cenderung menunjukkan motivasi yang lebih besar untuk belajar dan lebih mampu menentukan tujuan belajar mereka sendiri. Lewat proses yang seperti ini, murid-murid akan secara alamiah mempelajari keterampilan belajar (belajar bagaimana belajar). Keterampilan belajar ini adalah sebuah keterampilan yang sangat penting, yang dapat dan akan mereka gunakan sepanjang hidup mereka dan bukan hanya untuk saat ini.

Dalam hubungan yang bersifat kemitraan, saat murid belajar mereka akan:

     ·    Berusaha untuk memahami tujuan pembelajaran yang ingin dicapainya
·     Menunjukkan keterlibatan dalam proses pembelajaran
·     Menunjukkan tanggung jawab dalam proses pembelajaran
·     Menunjukkan rasa ingin tahu
·     Menunjukkan inisiatif
·     Membuat pilihan-pilihan tindakan
·     Memberikan umpan balik kepada satu sama lain.

Di sisi lain, guru yang akan mengambil peranan sebagai mitra murid dalam belajar akan:

  • Berusaha secara aktif mendengarkan, menghormati, dan menanggapi ide-ide, pendapat, pertanyaan, aspirasi dan perspektif  murid-murid mereka
  • Memperhatikan kemampuan, kebutuhan, dan minat murid-murid mereka untuk memastikan  proses pembelajaran sesuai untuk mereka
  • Mendorong murid untuk mengeksplorasi minat mereka dengan memberi mereka tugas-tugas terbuka
  • Menawarkan kesempatan kepada murid untuk menunjukkan kreativitas dan mengambil risiko
  • Mempertimbangkan sejauh mana tingkat bantuan yang harus diberikan kepada murid berdasarkan informasi yang mereka miliki 
  • Menunjukkan minat dan keingintahuan untuk mendengarkan dan menanggapi setiap aktivitas murid untuk memperluas pemikiran mereka.

Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid

Saat murid memiliki (agency), maka mereka sebenarnya memiliki suara (voice), pilihan (choice), dan kepemilikan (ownership) dalam proses pembelajaran mereka.

  • Voice (suara) adalah pandangan, perhatian, gagasan yang diekspresikan oleh murid melalui partisipasi aktif mereka di kelas, sekolah, komunitas, dan sistem pendidikan mereka, yang berkontribusi pada proses pengambilan keputusan dan secara kolektif mempengaruhi hasilnya
  • Pilihan (choice) adalah peluang yang diberikan kepada murid untuk memilih kesempatan-kesempatan dalam ranah sosial, lingkungan, dan pembelajaran.
  • Kepemilikan (ownership) adalah saat murid berada dalam kursi kemudi proses belajar mereka, maka mereka akan lebih bertanggungjawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri dan menunjukkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses belajarnya.

Lingkungan yang Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid

  • Lingkungan yang menyediakan kesempatan untuk murid menggunakan pola pikir positif dan merasakan emosi yang positif
  • Lingkungan yang mengembangkan keterampilan berinteraksi sosial secara positif, arif dan bijaksana
  • Lingkungan yang melatih keterampilan yang dibutuhkan murid dalam proses pencapaian tujuan akademik maupun non-akademiknya
  • Lingkungan yang melatih murid untuk menerima dan memahami kekuatan diri, sesama, serta masyarakat dan lingkungan di sekitarnya
  • Lingkungan yang membuka wawasan murid agar dapat menentukan dan menindaklanjuti tujuan, harapan atau mimpi yang manfaat dan kebaikannya melampaui pemenuhan kepentingan individu, kelompok, maupun golongan.
  • Lingkungan yang menempatkan murid sedemikian rupa sehingga terlibat aktif dalam proses belajarnya sendiri
  • Lingkungan yang menumbuhkan daya lenting dan sikap tangguh murid untuk terus bangkit di tengah kesempitan dan kesulitan

Peran Keterlibatan Komunitas dalam Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid

Komunitas memiliki peran penting dalam membantu mewujudkan lingkungan belajar yang mendukung tumbuhnya kepemimpinan murid karena:

  • Membantu menyediakan kesempatan bagi murid untuk mewujudkan pilihan dan suara mereka.
  • Membantu murid untuk belajar melihat dan merasakan dampak dari pilihan dan suara yang dibuatnya.
  • Membantu membentuk identitas diri dan efikasi diri murid yang lebih kuat.
  • Membantu murid untuk dapat tumbuh menjadi agen perubahan yang dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap diri sendiri, orang lain, masyarakat serta lingkungan di sekitarnya.

Untuk dapat mempromosikan aspek suara, pilihan, dan kepemilikan murid, berikut adalah beberapa prinsip yang dapat dijadikan panduan dalam membangun interaksi murid dengan komunitas:

  • Membangun suasana yang menghargai murid.
  • Mendengarkan murid
  • Dialog atau komunikasi dengan murid
  • Menempatkan murid dalam kursi pengemudi

Sabtu, 20 Mei 2023

REFLEKSI PEMBELAJARAN ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 3.2. PEMIMPIN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA

Sekolah adalah sebuah bentuk interaksi antara faktor biotik (unsur yang hidup) dan abiotik (unsur yang tidak hidup). Kedua unsur ini saling berinteraksi satu sama lainnya sehingga mampu menciptakan hubungan yang selaras dan harmonis. Dalam ekosistem sekolah, faktor-faktor biotik akan saling memengaruhi dan membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lainnya.

Faktor-faktor biotik yang ada dalam ekosistem sekolah adalah sebagai berikut: 
·     Murid
·     Kepala Sekolah
·     Guru
·     Staf/Tenaga Kependidikan
·     Pengawas Sekolah
·     Orang Tua
·     Masyarakat sekitar sekolah
·     Dinas terkait
·     Pemerintah Daerah 

Selain faktor-faktor biotik yang sudah disebutkan, faktor-faktor abiotik yang juga berperan aktif dalam menunjang keberhasilan proses pembelajaran di antaranya adalah:
·     Keuangan
·     Sarana dan prasarana
·     Lingkungan alam

Pendekatan berbasis kekurangan/masalah (deficit-based approach) akan memusatkan perhatian kita pada apa yang mengganggu, apa yang kurang, dan apa yang tidak berfungsi dengan baik. Kita mengeluhkan banyak fasilitas sekolah yang tidak berfungsi baik, buku ajar yang tidak lengkap, atau sekolah yang tidak tidak memiliki laboratorium.  Kekurangan yang dimiliki  mendorong cara berpikir negatif sehingga fokus kita adalah bagaimana mengatasi semua kekurangan atau apa yang menghalangi tercapainya kesuksesan yang ingin diraih.  Semakin lama, secara tidak sadar kita menjadi seseorang yang  tidak nyaman dan curiga yang dapat menjadikan kita buta terhadap potensi dan peluang yang ada di sekitar.

Pendekatan berbasis aset (asset-based approach) adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Dr. Kathryn Cramer, seorang ahli psikologi yang menekuni kekuatan berpikir positif untuk pengembangan diri. Pendekatan ini merupakan cara praktis menemukenali hal-hal yang positif dalam kehidupan. Dengan menggunakan kekuatan sebagai tumpuan berpikir, kita diajak untuk memusatkan perhatian pada apa yang berjalan dengan baik, yang menjadi inspirasi, yang menjadi kekuatan ataupun potensi yang positif.

Pendekatan PKBA menekankan pada nilai, prinsip dan cara berpikir mengenai dunia. Pendekatan ini memberikan nilai lebih pada kapasitas, kemampuan, pengetahuan, jaringan, dan potensi yang dimiliki oleh komunitas.

Karakteristik komunitas yang sehat dan resilien adalah sebagai berikut:
·     Mempraktikkan dialog berkelanjutan dan partisipasi anggota masyarakat
·     Menumbuhkan komitmen terhadap tempat
·     Membangun koneksi dan kolaborasi
·     Mengenal dirinya sendiri dan membangun aset yang ada
·     Membentuk masa depannya
·     Bertindak dengan obsesi ide dan peluang
·     Merangkul perubahan dan bertanggung jawab
·     Menghasilkan kepemimpinan

Sebagai sebuah komunitas, sekolah dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya sama seperti komunitas pada umumnya. Pemanfaatan sumber daya yang dimiliki sekolah dapat memanfaatkan konsep yang digunakan pada pendekatan pengembangan komunitas berbasis aset.

Tujuh modal utama ini yang dapat membantu menemukenali sumber daya yang menjadi aset sekolah, antara lain :
1.   Modal Manusia
2.   Modal Sosial
3.   Modal Politik
4.   Modal agama dan budaya
5.   Modal Fisik
6.   Modal lingkungan/alam
7.   Modal finansial

Selasa, 09 Mei 2023

REFLEKSI PEMBELAJARAN ELABORASI PEMAHAMAN MDUL 3.1. PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI-NILAI KEBAJIKAN SEBAGAI PEMIMPIN

Nilai-nilai kebajikan universal bisa berupa antara lain Keadilan, Keselamatan, Tanggung Jawab, Kejujuran, Rasa Syukur, Lurus Hati, Berprinsip, Integritas, Kasih Sayang, Rajin, Berkomitmen, Percaya Diri, Kesabaran, Keamanan, dan lain-lain.

Empat Paradigma Dilema Etika

Dilema etika adalah tantangan berat yang harus dihadapi dari waktu ke waktu. Ketika kita menghadapi situasi dilema etika, akan ada nilai-nilai kebajikan mendasar yang bertentangan seperti cinta dan kasih sayang, kebenaran, keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, tanggung jawab dan penghargaan akan hidup. 

Paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika dikategorikan menjadi :

1.   Individu lawan kelompok (individual vs community)

Dalam paradigma ini ada pertentangan antara individu lawan sebuah kelompok yang lebih besar di mana individu ini juga menjadi bagiannya. Paradigma ini, bisa juga berhubungan dengan konflik antara kepentingan pribadi lawan kepentingan orang lain, atau kelompok kecil lawan kelompok besar. ‘Individu’ di dalam paradigma ini tidak selalu berarti ‘satu orang’, tapi dapat juga berarti kelompok kecil dalam hubungannya dengan kelompok yang lebih besar. ‘Kelompok’ dalam paradigma ini dapat berarti kelompok yang lebih besar lagi, bisa berarti kelompok masyarakat kota yang sesungguhnya, tapi juga bisa berarti kelompok sekolah, sebuah kelompok keluarga, atau keluarga kita. Dilema individu melawan kelompok adalah tentang bagaimana membuat pilihan antara apa yang benar untuk satu orang atau kelompok kecil, dan apa yang benar untuk kelompok yang lebih besar. Sebagai guru terkadang kita juga harus membuat pilihan seperti ini di dalam kelas. Satu kelompok membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengerjakan sebuah tugas, sementara ada kelompok lain yang dapat menyelesaikannya dengan lebih cepat sehingga mereka sudah siap untuk masuk ke pelajaran berikutnya, apakah keputusan yang akan diambil oleh guru? Dalam situasi ini, guru mungkin menghadapi dilema individu lawan kelompok.

2. Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy)

Dalam paradigma ini, pilihannya adalah antara mengikuti aturan tertulis atau tidak mengikuti aturan sepenuhnya. Kita bisa memilih untuk berlaku adil dengan memperlakukan hal yang sama bagi semua orang, atau membuat pengecualian dengan alasan kemurahan hati dan kasih sayang. Terkadang memang benar untuk berpegang teguh pada peraturan, tapi terkadang membuat pengecualian juga tindakan yang benar. Pilihan untuk menuruti peraturan dapat dibuat berdasarkan rasa hormat terhadap keadilan (atau sama rata). Pilihan untuk membengkokkan peraturan dapat dibuat berdasarkan rasa kasihan (kebaikan), misalnya ada peraturan di rumah, kita harus berada di rumah pada saat makan malam, suatu hari kita pulang ke rumah terlambat karena seorang teman membutuhkan bantuan kita. Situasi ini dapat menunjukkan dilema keadilan lawan rasa kasihan, terhadap orang tua kita. Apakah ada konsekuensi dari melanggar peraturan tentang pulang ke rumah tepat waktu untuk makan malam, atau haruskah orang tua kita membuat pengecualian?

3. Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty)

Kejujuran dan kesetiaan seringkali menjadi nilai-nilai yang bertentangan dalam situasi dilema etika. Kadang kita harus memilih antara jujur atau setia (atau bertanggung jawab) kepada orang lain. Apakah kita akan jujur menyampaikan informasi berdasarkan fakta atau kita akan menjunjung nilai kesetiaan pada profesi, kelompok tertentu, atau komitmen yang telah dibuat sebelumnya. Pada situasi perang, tentara yang tertangkap terkadang harus memilih antara mengatakan yang sebenarnya kepada pihak musuh atau tetap setia kepada teman tentara yang lain. Hampir dari kita semua pernah mengalami harus memilih antara mengatakan yang sebenarnya atau melindungi teman (saudara) yang dalam masalah. Ini adalah salah satu contoh dari pilihan atas kebenaran melawan kesetiaan.

4. Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term)

Paradigma ini paling sering terjadi dan mudah diamati. Seringkali kita harus memilih keputusan yang kelihatannya terbaik untuk saat ini atau yang terbaik untuk masa yang akan datang. Paradigma ini bisa terjadi pada hal-hal yang setiap harinya terjadi pada kita, atau pada lingkup yang lebih luas misalnya pada isu-isu dunia secara global, misalnya lingkungan hidup dan lain lain. Sebagai orangtua, kita seringkali harus membuat pilihan ini, contohnya: ketika kita harus memilih antara seberapa banyak uang untuk digunakan sekarang dan seberapa banyak untuk ditabung nanti. Pernahkah kita harus memilih antara menggunakan uang kita untuk makan favorit kita atau berlatih instrumen musik atau berolahraga? Bila iya, kita telah membuat pilihan antara jangka pendek melawan jangka panjang.


Konsep Pengambilan dan Pengujian Keputusan

Dalam mengambil keputusan dan menguji keputusan yang akan diambil dalam situasi dilema etika ataupun bujukan moral yang membingungkan, ada 9 langkah yang dapat kita lakukan, diantaranya:

1. Mengenali nilai-nilai yang saling bertentangan

Mengapa langkah ini penting untuk kita lakukan? Pertama, alih-alih langsung mengambil keputusan tanpa menilainya dengan lebih seksama, penting bagi kita untuk mengidentifikasi masalah yang sedang kita hadapi. Kedua, penting bagi kita untuk memastikan bahwa masalah yang kita hadapi memang betul-betul berhubungan dengan aspek moral, bukan sekedar masalah yang berhubungan dengan sopan santun dan norma sosial. Tidak mudah untuk bisa mengenali hal ini. Kalau kita terlalu berlebihan, kita bisa terjebak dalam situasi seolah-olah kita terlalu mendewakan aspek moral, sehingga kita akan mempermasalahkan kesalahan-kesalahan kecil. Sebaliknya bila kita terlalu permisif, maka kita bisa menjadi apatis dan tidak bisa mengenali aspek-aspek permasalahan etika dalam masalah yang sedang kita hadapi.

2. Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini

Bila kita telah mengenali bahwa ada masalah moral di situasi yang sedang kita hadapi, pertanyaannya adalah dilema siapakah ini? Bukan berarti kalau permasalahan tersebut bukan dilema kita, maka kita menjadi tidak peduli. Karena kalau permasalahan ini sudah menyangkut aspek moral, kita semua seharusnya merasa terpanggil. 

3. Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini

Proses pengambilan keputusan yang baik membutuhkan data yang lengkap dan detail, apa yang terjadi di awal situasi tersebut, bagaimana hal itu terkuak, apa yang akhirnya terjadi, siapa berkata apa pada siapa, kapan mereka mengatakannya. Data-data tersebut penting karena dilema etika tidak bersifat teoritis, namun ada faktor-faktor pendorong dan penarik yang mempengaruhi situasi tersebut, sehingga data yang detail akan menjelaskan alasan seseorang melakukan sesuatu dan bisa juga mencerminkan kepribadian seseorang dalam situasi tersebut. Kita juga harus bisa menganalisis hal-hal apa saja yang potensial yang bisa terjadi di waktu yang akan datang.

4. Pengujian benar atau salah

a. Uji Legal. Pertanyaan penting di uji legal ini adalah apakah ada aspek pelanggaran hukum dalam situasi itu? Bila jawabannya adalah iya, maka situasi yang ada bukanlah antara benar lawan benar (dilema etika), namun antara benar lawan salah (bujukan moral). Keputusan yang harus diambil dalam situasi adalah pilihan antara mematuhi hukum atau tidak, dan keputusan ini bukan keputusan yang berhubungan dengan moral.
b. Uji Regulasi/Standar Profesional. Bila situasi yang dihadapi adalah dilema etika, dan tidak ada aspek pelanggaran hukum di dalamnya, mari kita uji, apakah ada pelanggaran peraturan atau kode etik di dalamnya. Konflik yang terjadi pada seorang wartawan yang harus melindungi sumber beritanya, seorang agen real estate yang tahu bahwa seorang calon pembeli potensial sebelumnya telah dihubungi oleh koleganya? Kita tidak bisa dihukum karena melanggar kode etik profesi kita, tapi kita akan kehilangan respek sehubungan dengan profesi kita.
c. Uji Intuisi. Langkah ini mengandalkan tingkatan perasaan dan intuisi kita dalam merasakan apakah ada yang salah dengan situasi ini. Apakah tindakan ini mengandung hal-hal yang akan membuat kita merasa dicurigai. Uji intuisi ini akan mempertanyakan apakah tindakan ini sejalan atau berlawanan dengan nilai-nilai yang kita yakini. Walaupun mungkin kita tidak bisa dengan jelas dan langsung menunjuk permasalahannya ada di mana. Langkah ini, untuk banyak orang, sangat umum dan bisa diandalkan untuk melihat dilema etika yang melibatkan dua nilai yang sama-sama benar.
d. Uji Publikasi. Apa yang akan kita rasakan bila keputusan ini dipublikasikan di media cetak maupun elektronik dan menjadi viral di media sosial. Sesuatu yang kita anggap merupakan ranah pribadi kita tiba-tiba menjadi konsumsi publik? Coba kita bayangkan bila hal itu terjadi. Bila kita merasa tidak nyaman kemungkinan besar kita sedang menghadapi benar situasi benar lawan salah atau bujukan moral.
e. Uji Panutan/Idola. Dalam langkah ini, kita akan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh seseorang yang merupakan panutan kita, misalnya ibu kita. Tentunya di sini fokusnya bukanlah pada ibu kita, namun keputusan apa yang kira-kira akan beliau ambil, karena beliau adalah orang yang menyayangi kita dan orang yang sangat berarti bagi kita.
Yang perlu dicatat dari kelima uji keputusan tadi, ada tiga uji yang sejalan dengan prinsip pengambilan keputusan yaitu: Uji Intuisi berhubungan dengan berpikir berbasis peraturan (Rule-Based Thinking) yang tidak bertanya tentang konsekuensi tapi bertanya tentang prinsip-prinsip yang mendalam. Uji publikasi, sebaliknya, berhubungan dengan berpikir berbasis hasil akhir (Ends-Based Thinking) yang mementingkan hasil akhir. Uji Panutan/Idola berhubungan dengan prinsip berpikir berbasis rasa peduli (Care-Based Thinking), dimana ini berhubungan dengan golden rule yang meminta kita meletakkan diri kita pada posisi orang lain. Bila situasi dilema etika yang kita hadapi, gagal di salah satu uji keputusan tersebut atau bahkan lebih dari satu, maka sebaiknya jangan mengambil resiko membuat keputusan yang membahayakan atau merugikan diri kita karena situasi yang kita hadapi bukanlah situasi moral dilema, namun bujukan moral yaitu benar atau salah.  

5. Pengujian Paradigma Benar lawan Benar. 

Dari keempat paradigma berikut ini, paradigma mana yang terjadi di situasi yang sedang kita hadapi ini?
- Individu lawan kelompok (individual vs community)
- Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy)
- Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty)
- Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term)
Pentingnya mengidentifikasi paradigma ini, bukan hanya mengelompokkan permasalahan, namun membawa penajaman bahwa situasi yang kita hadapi betul-betul mempertentangkan antara dua nilai-nilai inti kebajikan yang sama-sama penting.

6. Melakukan Prinsip Resolusi 

Dari 3 prinsip penyelesaian dilema, mana yang akan dipakai?
Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)
Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)
Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)

7. Investigasi Opsi Trilema 

Dalam mengambil keputusan, seringkali ada 2 pilihan yang bisa kita pilih. Terkadang kita perlu mencari opsi di luar dari 2 pilihan yang sudah ada. Kita bisa bertanya pada diri kita, apakah ada cara untuk berkompromi dalam situasi ini. Terkadang akan muncul sebuah penyelesaian yang kreatif dan tidak terpikir sebelumnya yang bisa saja muncul di tengah-tengah kebingungan menyelesaikan masalah. Itulah yang dinamakan investigasi opsi trilema. 

8. Buat Keputusan

Akhirnya kita akan sampai pada titik di mana kita harus membuat keputusan yang membutuhkan keberanian secara moral untuk melakukannya. 

9. Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan 

Ketika keputusan sudah diambil. Lihat kembali proses pengambilan keputusan dan ambil pelajarannya untuk dijadikan acuan bagi kasus-kasus selanjutnya. 

9 langkah pengambilan keputusan ini adalah panduan, bukan sebuah metode yang kaku dalam penerapannya. Pengambilan keputusan ini juga merupakan keterampilan yang harus diasah agar semakin baik. Semakin sering kita berlatih menggunakannya, kita akan semakin terampil dalam pengambilan keputusan. Hal yang penting dalam pengambilan keputusan adalah sikap yang bertanggung jawab dan mendasarkan keputusan pada nilai-nilai kebajikan universal

Selasa, 28 Maret 2023

REFLEKSI PEMBELAJARAN ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 2.3 COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK

 

Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun’ tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. Oleh sebab itu keterampilan coaching perlu dimiliki para pendidik untuk menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Proses coaching sebagai komunikasi pembelajaran antara guru dan murid, murid diberikan ruang kebebasan untuk menemukan kekuatan dirinya dan peran pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan memberdayakan potensi yang ada  agar murid tidak kehilangan arah dan menemukan kekuatan dirinya tanpa membahayakan dirinya.

Kompetensi inti coaching:
    * Kehadiran Penuh/Presence
    * Mendengarkan Aktif
    * Mengajukan Pertanyaan Berbobot
    * Mendengarkan dengan RASA

  Kehadiran penuh/presence adalah kemampuan untuk bisa hadir utuh bagi coachee, atau di dalam coaching disebut sebagai coaching presence sehingga badan, pikiran, hati selaras saat sedang melakukan percakapan coaching.  Kehadiran penuh ini adalah bagian dari kesadaran diri yang akan membantu munculnya paradigma berpikir dan kompetensi lain saat kita melakukan percakapan coaching.
 
Salah satu keterampilan utama dalam coaching adalah keterampilan mendengarkan dengan aktif atau sering kita sebut dengan menyimak.  Seorang coach yang baik akan mendengarkan lebih banyak dan lebih sedikit berbicara.Dalam percakapan coaching, fokus dan pusat komunikasi adalah pada diri coachee, yakni mitra bicara.  Dalam hal ini, seorang coach harus dapat mengesampingkan agenda pribadi atau apa yang ada di pikirannya termasuk penilaian terhadap coachee.
 
Pertanyaan berbobot memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Hasil mendengarkan aktif: Menggunakan kata kunci yang didapat dari mendengarkan
  2. Membantu coachee: Membuat coachee mengingat, merenung, dan merangkai fakta sehingga dapat memahami apa yang terjadi pada dirinya
  3. Bersifat terbuka dan eksploratif: Struktur kalimat terbuka, membuat coachee harus menjawab sambal berpikir
  4. Diajukan di momen yang tepat: Tidak terburu-buru dalam mengajukan pertanyaan dan ditanyakan di waktu yang coachee sudah siap memprosesnya
  Setelah kita mengetahui ciri-ciri pertanyaan berbobot, tentunya kita perlu mengetahui bagaimana kiat-kiat untuk mengajukan pertanyaan berbobot. Kiat-kiat yang dapat kita coba adalah sebagai berikut:
1.Merangkum pernyataan-pernyataan coachee dari hasil mendengarkan aktif.
2.Menggunakan kata: Apa, Bagaimana, Seberapa, Kapan dan Dimana, dalam bentuk pertanyaan terbuka
3.Menghindari penggunaan kata tanya “mengapa” karena bisa terasa ada “judgement”. Ganti kata “mengapa” dengan “apa sebabnya” atau “apa yang membuat”
4.Mengajukan satu pertanyaan pada satu waktu, jangan memberondong
5.Mengizinkan ada “jeda” atau “keheningan” setelah coachee selesai bicara, tidak buru-buru bertanya.  Juga izinkan ada keheningan saat coachee memproses pertanyaan
6. Menggunakan nada suara yang positif dan memberdayakan
 

Minggu, 12 Maret 2023

REFLEKSI PEMBELAJARAN ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 2.2 PEMBELAJARAN SOSIAL EMOSIONAL

 

Pembelajaran berbasis sosial emosional perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana kesiapan belajar belajar murid, minat murid dan profil belajar murid serta fokus peserta didik dalam memulai pembelajaran. Pembelajaran sosial emosional penting untuk diterapkan di sekolah, karena jika kita mengabaikan pengembangan keterampilan sosial dan emosional murid, maka akan membawa dampak buruk secara akademik bagi murid. Murid yang berkembang secara sosial dan emosional, akan berkembang bersamaan dengan berkembangnya secara akademik. Kebutuhan belajar dan lingkungan yang aman dan nyaman dapat meningkatkan kompetensi akademik maupun kesejahteraan psikologis (well-being).

Hal mendasar dan penting dipelajari mengenai konsep Pembelajaran Sosial dan Emosional berdasarkan kerangka kerja CASEL, yaitu untuk mengembangkan 5 Kompetensi Sosial dan Emosional (KSE) yaitu:
1.  Kesadaran Diri
2.  Manajemen Diri
3.  Kesadaran Sosial
4. Keterampilan Berelasi
5. Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab

Pemahaman konsep Kesadaran Penuh sebagai dasar penguatan 5 Kompetensi Sosial dan Emosional (KSE) dan bagaimana mengimplementasikan Pembelajaran Sosial dan Emosional di kelas dan sekolah melalui 4 indikator yaitu:

1.  Pengajaran eksplisit
2.  Integrasi dalam praktek mengajar guru dan kurikulum akademik
3.  Penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah
4.  Penguatan Kompetensi Sosial dan Emosional pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah.

Pengajaran eksplisit dilakukan sebagai implementasi Pembelajaran Sosial dan Emosional untuk memastikan murid memiliki kesempatan yang konsisten dalam menumbuhkan, melatih dan berefleksi tentang 5 Kompetensi Sosial Emosionla (KSE) dengan cara yang sesuai dan terbuka dengan ragam budaya.

Pembelajaran akademik yang terintegrasi KSE merupakan konten pembelajaran dan strategi pembelajaran pada materi akademik, seni, musik dan pendidikan jasmani.

Keterlibatan murid diperlukan untuk mengajak warga sekolah menghormati dan meningkatkan perspektif dan pengalaman murid dengan melibatkan murid sebagai pemimpin, pemecah masalah, dan pembuat keputusan.

Sabtu, 04 Maret 2023

REFLEKSI PEMBELAJARAN ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 2.1. MEMENUHI KEBUTUHAN BELAJAR MURID MELALUI PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI

Pengertian

Setiap murid memiliki perbedaan mulai dari latar belakang, minat, kecepatan belajar, dan cara berpikir. Dengan adanya perbedaan tersebut maka guru perlu memahami bahwa kebutuhan belajar setiap anak juga berbeda. Hal ini tentu saja membuat guru harus proaktif untuk merencanakan berbagai cara atau teknik untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan sebuah pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan  tersebut. 

Pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid. Keputusan-keputusan yang dibuat tersebut terkait dengan kurikulum, respon guru terhadap kebutuhan belajar muridnya, usaha guru untuk menciptakan lingkungan belajar yang ‘mengundang’ murid untuk belajar dan bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar yang tinggi, manajemen kelas yang efektif dan penilaian berkelanjutan. 

Penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi

Praktik pembelajaran berdiferensiasi dilakukan dengan mengidentifikasi kebutuhan belajar dengan lebih komprehensif, agar dapat merespon dengan lebih tepat terhadap kebutuhan belajar murid-muridnya. Tomlinson (2001) dalam bukunya yang berjudul How to Differentiate Instruction in Mixed Ability Classroom menyampaikan bahwa kita dapat mengkategorikan kebutuhan belajar murid, paling tidak berdasarkan 3 aspek. Ketiga aspek tersebut adalah:

1. Kesiapan belajar (readiness) murid

Kesiapan belajar (readiness) adalah kapasitas untuk mempelajari materi baru. Tujuan memetakan kesiapan belajar murid untuk memodifikasi tingkat kesulitan pada bahan pembelajaran, sehingga dipastikan murid terpenuhi kebutuhan belajarnya (Joseph, Thomas, Simonette & Ramsook, 2013: 29)

2.  Minat murid

Minat merupakan suatu keadaan mental yang menghasilkan respons terarah kepada suatu situasi atau objek tertentu yang menyenangkan dan memberikan kepuasan diri. Tomlinson (2001: 53), mengatakan bahwa tujuan melakukan pembelajaran yang berbasis minat, diantaranya adalah membantu murid menyadari bahwa ada kecocokan antara sekolah dan kecintaan mereka sendiri untuk belajar, mendemonstrasikan keterhubungan antar semua pembelajaran, menggunakan keterampilan atau ide yang dikenal murid sebagai jembatan untuk mempelajari ide atau keterampilan yang kurang dikenal atau baru bagi mereka, dan meningkatkan motivasi murid untuk belajar.

3.  Profil belajar murid

Profil belajar mengacu pada cara-cara bagaimana kita sebagai individu paling baik belajar dengan tujuan untuk memberikan kesempatan kepada murid untuk belajar secara natural dan efisien. Profil belajar terkait gaya berpikir, kecerdasan, budaya, latar belakang, jenis kelamin, dll. Mengingat bahwa murid-murid kita memiliki gaya belajar yang berbeda-beda, maka penting bagi guru untuk berusaha menggunakan kombinasi gaya mengajar.

Berdasarkan pemetaan kebutuhan belajar tersebut, guru dapat menentukan strategi yang dibutuhkan dalam praktik pembelajaran berdiferensiasi. Beberapa strategi diferensiasi yang bisa kita lakukan yaitu :

  1.  Diferensiasi konten

Konten adalah apa yang kita ajarkan kepada murid kita. Diferensiasi konten dibedakan atas tingkat kesiapan belajar murid, minat, dan profil belajar murid.

2.  Diferensiasi proses

Proses adalah bagaimana murid akan memahami memaknai apa informasi atau materi yang akan dipelajari. Diferensiasi proses dapat dilakukan dengan kegiatan berjenjang, menyediakan pertanyaan pemandu, membuat agenda individual, memvariasikan lamanya pengumpulan tugas, mengembangkan kegiatan bervariasi yang menggunakan berbagai metode gaya belajar, menggunakan pengelompokkan yang fleksibel.

3.  Diferensiasi produk

Produk adalah hasil pekerjaan atau unjuk kerja murid yang akan ditunjukkan kepada guru dalam berbentuk karangan, tulisan, hasil tes, pertunjukkan, presentasi, pidato, rekaman, diagram, dsb. Produk harus mencerminkan pemahaman murid dan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Diferensiasi produk harus disesuaikan dengan kebutuhan belajar murid.

 

Sebuah kelas yang berdiferensiasi haruslah didukung komunitas belajar, dimana guru memimpin murid muridnya untuk mengembangkan sikap, kepercayaan, dan praktek-praktek yang mengembangkan komunitas belajar. Komunitas belajar yang mendukung pembelajaran berdiferensiasi nampak pada iklim kelas yang mendukung, setiap orang dalam kelas saling menghargai, murid merasa aman dan nyaman, ada harapan pertumbuhan siswa secara optimal, setiap kebutuhan siswa terpenuhi, dan adanya kolaborasi antar guru dan siswa.  

COBA

 aku suka