Perubahan Paradigma Teori
Kontrol/Teori Pilihan (Ilusi Kontrol)
Psikiater dan pendidik, Dr. William
Glasser dalam Control Theory yang kemudian hari
berkembang dan dinamakan Choice Theory, meluruskan beberapa
miskonsepsi tentang makna ‘kontrol’, yaitu :
·
Ilusi guru mengontrol murid.
Pada dasarnya kita tidak
dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau murid tersebut memilih
untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya guru sedang mengontrol
perilaku murid, hal demikian terjadi karena murid sedang mengizinkan
dirinya dikontrol. Saat itu bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar
yang dipilih murid tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua
perilaku memiliki tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.
·
Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan
bermanfaat.
Penguatan positif atau
bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha untuk mempengaruhi
murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah suatu usaha untuk
mengontrol murid tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, kemungkinan murid
tersebut akan menyadarinya, dan mencoba untuk menolak bujukan kita atau
bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk
berusaha.
·
Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat
menguatkan karakter.
Menggunakan kritik dan
rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada identitas gagal. Mereka
belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka. Mereka mengembangkan
dialog diri yang negatif. Kadang kala sulit bagi guru untuk
mengidentifikasi bahwa mereka sedang melakukan perilaku ini, karena seringkali
guru cukup menggunakan ‘suara halus’ untuk menyampaikan pesan negatif.
·
Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.
Banyak orang dewasa yang
percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat murid-murid
berbuat hal-hal tertentu. Apapun yang dilakukan dapat diterima, selama
ada sebuah kemajuan berdasarkan sebuah pengukuran kinerja. Pada saat itu
pula, orang dewasa akan menyadari bahwa perilaku memaksa tidak akan
efektif untuk jangka waktu panjang, dan sebuah hubungan permusuhan akan
terbentuk.
Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan
motivasi yang ketiga pada murid-murid kita yaitu untuk menjadi orang yang
mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka
percaya. Ketika murid-murid kita memiliki motivasi tersebut, mereka telah
memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak
akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku
baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang
yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai, atau mencapai suatu
tujuan mulia.
Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif
manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu. Seperti
yang telah dikemukakan oleh Dr. William Glasser pada Teori Kontrol (1984),
menyatakan bahwa setiap perbuatan memiliki suatu tujuan, dan selanjutnya Diane
Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang
diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga
menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang
diinginkan
Restitusi adalah
proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka,
sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih
kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang
mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid
berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka
harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).
Hukuman bersifat satu arah, dari pihak
guru yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui
suatu kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau
sesudahnya. Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun psikis, murid/anak
disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata.
Penghargaan maupun hukuman, adalah cara-cara
mengontrol perilaku seseorang yang menghancurkan potensi untuk pembelajaran
yang sesungguhnya. Menurut Kohn, secara ideal tindakan belajar itu sendiri
adalah penghargaan sesungguhnya
Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan
inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan
universal yang disepakati secara tersirat dan tersurat, lepas dari latar
belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Seperti yang sudah disampaikan
sebelumnya pada pembelajaran 2.1 tentang Nilai-nilai Kebajikan bahwa menekankan
pada keyakinan seseorang akan lebih memotivasi seseorang dari dalam. Seseorang
akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada
hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna. Murid-murid
pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan memahami arti sesungguhnya tentang
peraturan-peraturan yang diberikan, apa nilai-nilai kebajikan dibalik peraturan
tersebut, apa tujuan utamanya, dan menjadi tidak tertarik, atau takut sehingga
hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur mereka
tanpa memahami tujuan mulianya.
Konsep 5 kebutuhan dasar manusia tidak hanya berlaku bagi anak-anak atau murid-murid, namun juga bagi manusia dewasa, dalam setting sekolah adalah para tenaga pendidik dan kependidikan. Lihatlah para guru di sekolah Anda. Dapatkan Anda memprediksi kira-kira guru mana yang memiliki kebutuhan dasar yang tinggi akan penguasaan, kebebasan, kesenangan, atau kasih sayang dan rasa diterima? Kebutuhan dasar mana yang sedang berusaha dipenuhi oleh guru ketika mereka melakukan sebuah tindakan tertentu? Kalau begitu, apa yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin sekolah berdasarkan konsep 5 kebutuhan dasar ini dalam rangka mewujudkan lingkungan dan budaya sekolah yang positif ?